Halaman

Kamis, 22 Januari 2015

Catatan untuk Seorang Sahabat


Masih segar di memoriku perjalanan penuh kesan sekitar 8 bulan lalu. Hari itu Sabtu, 10 Mey 2014, Peksimida membawaku kesebuah cerita. Aku duduk di sebuah ruangan bercat putih, sebuah meja di pojok kanan ruangan dan banyak kursi tertata di depannya. Aku duduk di kursi paling depan, di sebelah kiriku duduk teman baikku yang telah ku kenal sejak pertengahan 2011 silam. Di sebelah kananku, duduk seorang penulis entah dari kampus mana, ku lihat almamaternya, mirip almamaterku, tapi dia bukan dari kampusku. Ku abaikan dia. Ku buka laptopku dan mulai mengetik huruf demi huruf, merangkai kata menjadi klausa, menyempurnakannya menjadi kalimat. Kalimat menjadi paragraf dan menghidangkannya dalam bentuk cerpen.Tiba-tiba, orang asing di kananku membuka pembicaraan, memulai small talk denganku. 
"Mba, ngerasa dingin ngga?", tanyanya sambil memeluk dirinya sendiri.
"Engga, biasa aja." Jawabku singkat.

Udara dingin dari AC di ruangan itu ternyata cukup membuat penulis di sebelahku kedinginan. Small talk singkat itu akhirnya menjembatani pertanyaan yang mengarah ke perkenalan diri. Penulis di sebelahku ternyata mahasiswa angkatan 2013 dari salah universitas swasta di Jateng. 
Peksimida berakhir, tapi pertemanan dengan penulis itu tetap berlanjut. Kita saling membaca karya tulis masing-masing di blog. Waktu berlalu dan kita menjadi sahabat yang selalu membagi cerita bersama. Kita masih bertemu beberapa kali sepulangnya dari Peksimida. Ku temukan indahnya persahabatan beda agama dalam persahabatan kami. Dia begitu menghargai kepercayaanku, dan aku juga belajar memahaminya dengan cerita keagamaannya. 
Di masa sulit dalam hubungan asmaraku, dia tak pernah bosan menyemangatiku, saat aku menangis karena cinta, dia membawaku ke pantai dan menikmati indahnya senja di pasir kencana, waktu aku jenuh dengan skripsiku, dan ngga tau cari buku kemana lagi, dia mencarikan aku buku, waktu dia ikut lomba puisi, ku temani dia selama 2 hari sampai puncak acara, saat aku mulai meninggalkan tulisan dan karya sastra, dia membelikanku pena. 
Suatu hari, saat aku menangis karena pedihnya hatiku, dia bilang, "sudahlah Han, berhenti mencucurkan air mata, tenangkan dirimu dan berdiamlah, karena diam adalah cara tersantun untuk marah."
Aku mendapatkan perhatian yang tulus seorang sahabat darinya. Sejenak, kucoba lupakan cintaku, mencoba marah dengan cara yang santun. Hingga suatu hari cinta kembali datang menghampiriku. Ingin ku utarakan itu pada sahabatku, tapi aku tak punya keberanian. Entah masih pantaskah aku ini disebut sahabat, tapi aku terlalu takut untuk menceritakannya. Bahkan untuk minta maaf pun kini aku tak punya keberanian. 

Untuk sahabatku, Sang Ahli Sastratikalogistik, terimakasih untuk kebersamaan, terimakasih untuk senyuman, terimakasih untuk cerita-cerita indah. 
I begged you a billion sorry. 

Semarang, 22 Jan 2014

Hanna...






Tidak ada komentar:

Posting Komentar