Halaman

Sabtu, 01 Februari 2014

Seni Kehidupan Jalanan

Hari ini aku reunian dengan diriku sendiri dan masa-masa yang telah aku lalui. Di bawah teriknya matahari aku menyusuri jalan Pemuda Semarang, dari Gramedia sampai kostku. Angin yang berhembus kencang menyibak rambutku, membuatku merasa seolah seperti seorang model yang sedang taking picture di tepi pantai. Entah kenapa aku tiba-tiba pengen jalan kaki sepulang dari Gramedia, padahal aku sudah merencanakan untuk naik angkutan umum. Tapi kaki ku membawaku menyusuri jalan-jalan yang dulu sering kulalui, namun satu tahun belakangan ini nyaris tak pernah lagi ku lintasi. Terik matahari menjerang kulitku yang sudah berwarna gelap, namum hatiku cukup bersyukur bisa merasakan panasnya Semarang siang ini, karena lebih dari 2 minggu terakhir ini si bola api raksasa itu enggan "memanasi" kota kami.
Jalan kaki sebenarnya sangat menyenangkan bagiku, namun kadang panas terik membuatku enggan menapak jalanan. Di jalanan aku belajar banyak hal, belajar bersyukur karena kedua kaki ku masih bisa berfungsi dengan baik. Belajar mensyukuri hidup, karena ada begitu banyak orang yang tak seberuntung diriku, dan mereka harus "hidup" di jalanan. Di jalan aku belajar tentang kekejaman sekaligus keindahan dalam hidup ini. Aku menyaksikan orang-orang yang bergantung pada "jalanan" untuk bertahan hidup. Aku melihat tukang sapu di jalan raya, tukang becak, juru parkir, pedangang asongan, pengamen, pengemis, dan masih banyak hal lain yang ku saksikan di jalanan. Aku senang menyusuri jalan saat senja menghampiri, saat matahari sudah terbenam, dan aku tak merasakan panas lagi. Saat malam tiba, aku melihat keindahan yang tak dapat kugambarkan dengan kata-kata, aku senang menyaksikan lampu kota, indahnya warna-warni itu membuatku jatuh cinta, jatuh cinta pada jalan, malam, dan warna-warni lampu kota. 
Kuceritkan dulu tentang perjalananku siang hari ini. Aku diam-diam menyukai seni kehidupan jalanan. Aku tersenyum simpul saat bapak tukang becak menawariku untuk menggunakan jasa becaknya. Ahh, bapak itu mengingatkanku pada ayahku. Ayahku bukan seorang tukang becak seperti bapak itu, tapi perjuangan bapak itu menghidupi keluarganya menyadarkanku akan perjuangan ayahku yang tak kenal lelah, demi menyekolahkan kami anak-anaknya. Beberapa langkah setelah melewati si bapak tukang becak aku melihat seorang ibu separuh baya sedang berjualan makanan di trotoar. Perjuangan seorang ibu yang tak kenal lelah,  tak peduli panas atau hujan, berjuang demi mendapatkan rupiah. Aku tersenyum getir, teringat waktu aku membantu ibuku jualan di pusat pasar Kabanjahe. Hari semakin terik, perut kosongku keroncongan. Aku memutuskan berhenti dan makan siang di tukang Soto Ayam Surabaya di tepi jalan. Dulu, aku sering makan siang disini dengan teman-teman kuliahku, waktu kampusku masih berdiri megah di kawasan elit jalan Pemuda. Tapi sekarang kampusku pindah beberapa ratus meter ke arah timur, dan tak jarang aku bolos kuliah saat musim hujan tiba, karena kampusku banjir. Miris sekali! 
Ibu tukang soto menyuguhkan semangkok soto ayam. Aku yang sedang kelaparan menyantap suguhan istimewa itu, ditambah 1 tusuk sate jeroan dan tempe goreng. Minumannya tentu saja segalas es teh manis, penghilang dahaga di teriknya siang ini. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan soto ayam yang lezat itu, satu-satunya jenis makanan berkuah yang paling aku sukai di Semarang. 
Aku kembali melanjutkan perjalananku menuju kostku, yang berada di kawasan Pandansari. Aku melewati gedung kampus lamaku, ku tatap gedung yang berdiri megah 10 lantai itu. Selama satu setengah tahun, hampir setiap hari aku ke kampus, bahkan hari minggu pun. Gedung itu bak rumah pertama, dan kos rumah kedua. Karena hampir setiap hari aku menghabiskan lebih dari 12 jam di sana. Pagi-pagi aku berangkat kuliah, dan tak jarang sampai malam aku di kampus bersama teman-teman, mengikuti seabrek kegiatan keorganisasian. Kakiku terus membawaku menyusuri jalan pemuda, jalan yang selama satu setengah tahun telah menjadi saksi kehidupanku di Semarang. Ribuan langkah telah kulewati di trotoar dimana aku melangkah siang ini, terik panas dan hujan telah kulalui bersama-sama dengan jalan ini. Ku ingat kebiasaanku dulu, kalau lelah menghampiriku, aku menghitung jumlah gedung yang tersisa yang harus kulewati sebelum aku sampai di kampus, sambil berkata ,"ah, udah deket kok Mey, tinggal 4 gedung lagi yang harus dilewati sebelum sampai dikampus". 
Aku melihat kekiri dan kekanan jalan, tak banyak yang berubah. Juru parkir yang bertugas di sekitar jalan itu masih sama, bahkan orang aneh yang dulu suka "menggoda" anak kuliah yang berlalu lalang melintasi jalan itu masih disana, dan masih menggodaku waktu aku melewatinya siang ini.
Tak terasa aku telah sampai di kosku. Aku merebahkan tubuhku di sofa di ruang tamu, dan aku berkata pada diriku. "Lihatlah, sudah banyak hal yang kamu alami selama di Semarang, sudah banyak pelajaran yang kamu tangkap, sudah ribuan langkah yang engkau tempuh, akankah hidupmu sama setelah ini? Saat engkau akan meninggalkan Semarang, kota dimana engkau menuntut ilmu? Tidakkah engkau berniat untuk berjuang demi merubah nasibmu? Menaklukkan rintangan dan meraih mimpi-mimpi? Membanggakan orang tuamu? Dan mewariskan pelajaran berharga bagi generasimu?"
Pertanyaan itu cukup menggangguku, dan membuatku bertekad untuk merubah nasibku. Aku tidak mau terus seperti ini. Aku harus bangkit, maju, karena nasib yang lebih baik tengah menantiku.

Hanna
Semarang, 01 feb 2014