“Ma, nanti kalau aku dan
adik sudah lulus kuliah, kita renovasi rumah kita, ya.”
Kata ku kepada mama yang sedang
mendengarkan permintaan putrinya di ujung telfon. Sambil tertawa mama
menjawabku, “Iya sayang, berdoa saja biar kita dapat rejeki.”
Mendengar jawaban mama imajinasiku
melayang dan membayangkan sebuah rumah impian, sebuah rumah yang selama ini
selalu aku dambakan.
Lamunanku
akan rumah impian seketika buyar saat Rika, adikku masuk ke kamar. Dia 2 tahun lebih muda dari aku, dan kini kami
tinggal bersama di satu kamar kost di salah satu kota besar di Jawa Tengah.
“Telfon sama siapa tadi?” Tanya Rika dengan
gayanya yang cuek.
“Sama mama.” Jawabku singkat, tanpa
berpaling dari telefon genggamku yang sedang ku mainkan.
“Ngobrol apa sama mama?”
“Ngobrolin rumah.”
“Emang
rumah kita kenapa?”
“Ngga
kenapa-kenapa kok, aku cuma bilang ke
mama, nanti kalo kita udah selesai kuliah, rumah kita di
renovasi, kan mama ngga ngirimin kita uang bulanan lagi,
jadi uangnya bisa buat renovasi rumah.”
Sudah
lama sekali aku tidak pulang ke rumah. Sesekali kurasakan rindu yang teramat
dalam akan hari-hariku saat aku masih tinggal di rumah bersama semua anggota
keluargaku. Saat mama membangunkanku di pagi hari, membuatkan kami sarapan
sebelum berangkat sekolah, saat mama dengan sabarnya mendengarkan cerita gadis
kecilnya yang sedang jatuh cinta, saat aku, adik, abang dan kedua orang tuaku
berkumpul di malam Natal dan Tahun Baru.
Hal
yang paling aku rindukan di rumah adalah saat kami sekeluarga makan malam
bersama. Masakan mama yang spesial selalu membuatnya mendapatkan pujian dari
suami dan anak-anaknya. Mama mendapat julukan sebagai koki terhebat sedunia,
karena mama selalu memasak dan menyajikan menu masakannya dengan penuh cinta.
Masakan mama benar-benar tiada duanya. Aku juga selalu memperhatikan hal unik
dari papa. Papa sangat suka makan kerak nasi yang masih hangat, dan selalu ku
katakan kepada papa, akan aku ceritakan kepada anak-anakku kelak, bahwa kakek
mereka sangat suka makan kerak nasi yang masih hangat. Papa selalu tertawa saat
aku menggodanya seperti itu. I love you,
Dad.
Keinginan untuk kuliah
telah membawaku jauh meninggalkan rumah, meninggalkan pulau Sumatera. Terkadang
ada rasa cemburu melihat teman-teman yang pulang ke rumah mereka saat liburan
tiba. Aku harus menahan rindu dan mengurungkan niat untuk liburan ke kampung halaman,
karena memang tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk pulang menyeberangi
lautan.
Aku beruntung aku bisa
kuliah bersama adikku di luar pulau. Setidaknya aku masih punya anggota
keluarga yang tinggal bersamaku. Sesekali saat sedang ngobrol dengan Rika, ku
tanyakan bagaimana sekarang keadaan rumah kami, karena ia yang terakhir
meninggalkan rumah. Diceritkannya bahwa tanah kosong di depan rumah tempat kami
dulu sering bermain telah dibangun rumah oleh pemiliknya.
“Kalau di tanah kosong itu sudah
dibangun rumah, anak-anak tetangga kita bermain dimana?”
“Ya mereka bermain di halaman sekolah
yang di dekat rumah kita.”
“Trus,
rumah kita sendiri gimana?”
“Sepi”, jawabnya singkat.
Ada
rasa pilu saat membayangkan rumah sederhana berukuran 8 x 6 meter dimana aku
dibesarkan selama hampir 16 tahun kini menjadi sepi. Wajar saja memang kalau
rumah itu sekarang sepi, berbeda seperti beberapa tahun lalu saat kami semua
masih di rumah. Abangku kini telah menikah dan dia tinggal di tempat yang
ditetapkan pemerintah untuk bekerja, aku dan adikku menuntut ilmu ke pulau
Jawa. Tinggal mama dan papa yang ada di rumah, itu pun hanya di akhir pekan.
Sejak aku kuliah mama memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan di
kota, jadi mama hanya bisa pulang setiap akhir pekan. Papa, yang mencintai
dunia pertanian mengolah lahan pertanian kami dan ia tinggal di rumah,
sendirian. Aku tau orang tuaku telah mengambil keputusan yang sulit, tapi aku
juga sadar mereka melakukan itu demi masa depan kami, buah hati mereka.
Bertahun-tahun
kini tak ku injakkan kaki di rumahku. Tapi masih terbayang setiap sudut ruangan
itu, setiap tempat di rumahku menyimpan cerita dan hangatnya kebersamaan kami
di rumah. Ku bayangkan rumahkku yang sekarang dan kubayangkan rumah impianku.
Rumah yang sekarang sepi itu sangat sederhana, dan hanya memiliki 2 kamar
tidur. 1 kamar untuk orang tuaku, dan yang 1 dengan ukuran lebih kecil adalah
kamarku dan kamar adikku. Kamar abangku? Dulu saat aku dan adikku masih kecil,
kami tidur bersama orang tua kami. Jadi abangku tidur di kamar yang lebih kecil
itu. Saat kami mulai tumbuh remaja, kami, aku dan adikku, menggusur abangku, jadi ia tidur di sofa di ruang keluarga.
Rumah
impianku tentunya lebih baik dari rumahku yang sekarang. Rumah impianku adalah
sebuah rumah berlantai dua, 2 kamar di lantai 1 dan 2 kamar di lantai atas, dan
ada balkon yang menghadap ke barat. Rumah itu tidak harus mewah, yang penting
ada pekarangannya. Jadi rumah itu akan terlihat segar. Di pekarangan akan ada
beberapa pohon buah-buahan, dan yang pasti akan ada banyak bunga yang di tanam
di pekarangan itu. Pertanyaannya, rumah sebesar itu untuk siapa? Tentu saja
untuk orang tuaku.
Suatu
hari ku ceritakan kepada adikku mengenai rumah impian itu.
“Ka, aku punya rumah impian.”
“Rumah impian seperti apa?” Tanya
Rika.
“Rumah berlantai dua, 2 kamar di
lantai 1 dan 2 kamar di lantai atas, dan ada balkon yang menghadap ke barat, trus ada pekarangannya.” Jelasku
bersemangat.
“Lu
mau bangun dimana rumah kaya gitu?”
Tanya Rika dengan nada tak percaya.
“ Ya beli tanah toh, Neng.”
“Emang
menurut elu beli tanah itu
gampang, duit dari mana?” jawab Rika
masih dengan nada tak percaya.
“Kan rumah yang sekarang itu kalau
mau di renovasi juga susah, di depannya juga udah di bangun rumah. Jadi kita bilang mama aja, biar rumah itu di
jual, terus kita beli tanah yang memungkinkan untuk di bangun rumah kaya rumah
impianku itu”. Kataku sambil membayangkan rumah impianku itu.
“Astaga, lagian buat apa rumah se-gede itu? Toh nanti kita udah
berkeluarga dan orang tua kita cuma tinggal berdua.”
“Ya justru karena kita udah berkeluarga. Jadi nanti kalo Tahun Baruan kita kumpul keluarga
di rumah mama, pasti mama senang liat anak-anak dan cucu-cucunya berkumpul”.
Ceritaku kepada Rika sambil membayangkan masa depan.
“Tapi ngga mesti jual rumah kita yang sekarang juga kali, pokoknya aku ngga mau kalo rumah itu sampai di jual, apapun ceritanya. Rumah itu
menyimpan sejarah perjalanan keluarga kita selama sekian dekade.” Bantah
adikku.
Sepenting
itu kah arti rumah itu baginya, di banding dengan rumah impianku? Aku tak
peduli apa kata adikku, rumah impian itu masih tetap menari-nari di
imajinasiku. Ku bayangkan rumah impianku di bangun di kampung halamanku yang
sejuk, dengan pemandangan gunung yang menjulang tinggi di sebelah timur dan
pegunungan Bukit Barisan yang seolah memeluk bahu gunung itu di sebelah timur
laut. Ku bayangkan keindahan mentari pagi yang terbit dari balik gunung yang
diselimuti awan tipis yang bisa di saksikan dari jendela kamar di lantai atas,
dan megahnya matahari jingga saat senja di ufuk barat, yang bisa di nikmati
dari balkon yang mengahadap ke arah matahari terbenam. Aku tersenyum dan ku
pejamkan mataku menikmati indahnya pemandangan yang menari-nari di imajinasiku.
***
Ku
temukan diriku mulai disibukkan dengan skripsiku. Perkara rumah impian sudah
jarang aku pikirkan. Yang ada di pikiranku hanyalah tentang skripsi, skripsi
dan skripsi. Bagaimana skripsiku bisa ku
kerjakan dengan maksimal dan hasil yang memuaskan, itu semua cukup menyita
waktu dan pikiranku. Sampai suat ketika
di masa-masa jenuhku aku di suguhi satu pertanyaan oleh teman-teman satu
organisasiku di kampus . Pertanyaannya sederhana, apa bedanya “home” dengan “house”?
Secara harafiah kedua kata tersebut
bisa diartikan “rumah”. Aku tidak menjawab apa-apa saat aku ditanyai tentang
perbedaan kata itu. Tapi itu cukup menggangguku juga. Aku pernah mendengar
istilah “home sweet home”, bukan “house sweet house”. Kini aku mengerti, home bukan hanya sekedar bangunan rumah
dengan beberapa kamar yang dipenuhi dengan perabotan. Tapi lebih dari itu, home mengandung makna yang lebih luas. Home berbicara tentang keharmonisan,
hubungan, kasih sayang dan cinta yang kita dapatkan di rumah, di keluarga kita.
Rumah adalah tempat dimana ada orang-orang yang menanti kita dengan penuh kasih
sayang saat kita pulang.
Rumah
bisa menjadi house ketika tidak ada
keharmonisan di dalamnya. Kasus seperti ini sering disebut dengan istilah “broken home”, bukan “broken house”. Karena yang rusak
bukanlah bangunan rumahnya, tetapi hubungan antar anggota keluarga. Dan yang
sering kali menjadi korban dari broken home adalah anak-anak. Mereka tidak
mendapat kasih sayang di rumah, sehingga mereka “lari” dan mencoba mencari perhatian di luar rumah. Tapi yang mereka
dapatkan bukanlah perhatian dan kasih sayang, tapi pergaulan yang buruk dan
yang akhirnya menjerumuskan mereka. Anak-anak yang menjadi korban broken home tidak jarang menjadi korban
juga dalam pergaulan yang tidak baik.
Pertanyaan
home or house mengingatkanku akan
rumahku, ya rumahku yang sekarang, bukan rumah impianku. Ku tanya diriku
sendiri apakah rumahku adalah home or
house bagiku. Ku ingat senyum dan semangat kedua orang tuaku, ku ingat
kembali saat-saat beberapa tahun lalu, saat kami semua masih berkumpul di
rumah, saat mama memasakkan kami makanan dengan penuh cinta, saat papa tertawa
setiap kali aku menggoda dia tentang kerak nasi yang masih hangat, saat aku,
adik dan abangku bersenda gurau bersama, dan 1 hal yang selalu ku ingat,
bagaimana orang tuaku mengapresiasi kami anak-anaknya saat kami menjadi juara
kelas, dan bagaimana mereka menyemangati kami saat prestasi kami tidak
meningkat. Semuanya itu menjawab pertanyaan apakah rumahku home or house bagiku.
Aku
merasakan rindu yang semakin mendalam akan rumahku di saat-saat terakhir
penyelesaian skripsiku. Hampir 4 tahun
aku menahan rasa ini, demi mimpi dan cita-cita, demi membanggakan kedua orang
tuaku, demi keluargaku yang tercinta. Dengan penuh cinta akan mereka ku
selesaikan skripsiku dan sebentar lagi aku akan di wisuda.
Suatu
senja di akhir pekan ku telfon mamaku,
“Ma, aku lulus sidang. Pertengahan
bulan Mei aku akan di wisuda.”
“Selamat ya sayang, mama sama papa
bangga sama kamu.”
“Iya ma, makasih dukungannya ma. Ma,
aku punya permintaan, boleh?”
“Permintaan apa sayang, renovasi
rumah kita?” Tanya mamaku sambil menggodaku dan tertawa di ujung telfon.
“Engga ma, selesai wisuda aku pulang
ya. I do miss my home.” Kata ku
sambil menahan air mata.
“ Iya sayang, nanti kita pulang
bareng setelah kamu wisuda.”
“Thankyou mom, I love you.”
Hanna Meyti Sitepu
Purwokerto, 10 mei '14