Halaman

Selasa, 21 Januari 2014

Sahabat Kepompong


"Terkadang sendiri memang lebih baik", kata Dinda pada dirinya sendiri yang tengah menikmati segelas teh manis hangat di suatu senja yang dingin sambil memandang fotonya dan sahabatnya yang di pajang di kamar tidurnya. Cukup lama ia memandang foto dengan latar belakang air terjun itu. Akhir-akhir ini Dinda memang lebih sering sendiri kemana-mana. Sangat berbeda dengan beberapa saat lalu. Dulu, ia biasa menghabiskan waktunya dengan Rehan, sahabatnya. Teman-teman mereka bahkan sering mengatakan Rehan adalah bayangan Dinda, karena dimana ada Dinda, selalu saja ada Rehan disana. Jalan pagi bareng, berangkat ke kampus bareng, makan bareng, belajar bareng, ke toko buku bareng, nonton bareng, hang out bareng, de el el.
Teh manis hangat yang menemani sore Dinda sudah habis ia teguk. Namun pandangannya masih tetap ke arah fotonya dan Rehan. Ia mencoba bernostalgia mengenang detik demi detik yang telah ia habiskan bersama Rehan. Persahabatan mereka bagaikan persahabatan kepompong, merubah ulat menjadi kupu-kupu. Dan carang kayu adalah tempat menempelnya kepompong.  Saat jadi kepompong, begitu dekatnya mereka sehingga tak ada jarak lagi. Saaet menjadi kupu-kupu, si kupu-kupu terbang kian kemari.
Ya, dulu Dinda dan Rehan bagaikan kepompong dan carang kayu, jarak yang memisahkan mereka 0. Begitu dekatnya mereka sehingga hampir setiap aktivitas mereka lakukan bersama-sama. Dinda tersenyum mengingat Rehan yang selalu menggodanya tiap kali melihat kebiasaan Dinda yang suka menjentikkan jari manis, jari tengah dan telunjuknya dengan cepat kalau ia sedang kebingungan. 1 lagi kebiasaan Dinda yang kini juga menjadi kebiasaan Rehan, menjentikkan telunjuk ke hidungnya kalau ia sedang berpikir. Kebiasaan-kebiasaan konyol itu selalu mereka tertawakan bersama.
"Arrghh,,, terlalu banyak cerita yang telah kita tuliskan bersama Re", bisik Dinda pada dirinya sendiri. "Aku merindukan tawa kita yang dulu, aku merindukan saat kita menyaksikan lampu kota bersama, jalan pagi bareng, belajar bareng. Tapi apa mungkin? Apa mungkin aku bisa hang out bareng kamu lagi?  Kamu bahkan tidak menganggapku masih ada. Sekarang kamu ga butuh aku lagi, kamu ga butuh sahabatmu lagi, karena kini kamu punya seseorang yang jauh lebih sempurna dari aku."
Terkadang kenyataan memang terlalu pahit untuk dihadapi. Dinda, dengan terpaksa harus kehilangan sahabatnya, karena sahabatnya kini bersandingkan seseorang yang lebih pantas untuk menuliskan cerita bersama. Jarak 0 yang dulu pernah ada, kini bagaikan 2 garis sejajar yang meski di tarik sepanjang apapun tidak akan pernah bertemu.
Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi di sore itu, dan tanpa ia sadari air mata basahi pipinya mengenang hari-harinya dengan Rehan, yang pernah jadi sahabatnya.


Hanna,
Semarang, 21 Jan 2014

Minggu, 12 Januari 2014

Sinabung Oh...Sinabung


Tidur nyenyakku ter-interupsi malam itu, 28 Agustus 2010. Salah seorang tetanggaku mengetok pintu sambil berteriak " Bangun...bangun...Gunung Sinabung meletus". Dengan keadaan masih setengah sadar, kami sekeluarga keluar rumah demi mendengar teriakan itu. Aku, yang masih tidak percaya dengan apa yang kudengar, karena tadi siangnya aku masih berangkat ke sekolahku yang berada persis di lereng Sinabung,dengan mata yang masih terkantuk- kantuk, melihat ke arah timur, ke singgasananya Sinabung. Kantukku hilang, dan aku merasakan tubuhku gemetaran. Sekitar belasan kilometer di depanku, di puncak Sinabung aku melihat bara api keluar. Seolah mentari telah bersinar di tengah malam yang dingin itu.  Aku masih belum percaya dengan apa yang ku lihat, masih belum percaya Gunung Sinabung telah meletus. Tadi siang aku masih mengikuti pelajaran seperti biasa, dan tidak ada tanda-tanda gunung akan meletus, pikirku.

Sesaat kemudian ku temukan diriku telah berkumpul dengan semua tetangga ku di salah satu rumah tetangga, pemilik rumah segera menyalakan pesawat televisi dan kami melihat berita Gunung Sinabung telah meletus di siarkan. Aku baru percaya Sinabung telah meletus setalah mendengar siaran itu.
Kami tidak mengungsi karena desa kami masih aman, meski kami dan semua warga lumayan was-was malam itu. Keesokan harinya, aku dikagetkan dengan info lain yang kudengar saat aku bangun. " Cobalah keluar, ada banyak pengungsi di Losd, manatau ada teman sekolahmu disana", kata adikku.
Aku keluar rumah dan segera ke balai desa, yang dalam bahasa adat karo di sebut Losd atau Jambur. Aku tak kuasa menyaksikan pemandangan yang menyayat-nyayat hatiku. Ada banyak pengungsi yang tidur di sana, dan tidak sedikit yang aku kenal. Beberapa dari mereka adalah teman sekolahku dan keluaraganya. Selama 1 bulan lebih setelah hari itu, desa kami menjadi salah satu posko pengungsian. Beberapa teman tidur di rumahku karena Losd di desa kami tidak cukup luas untuk menampung semua pengungsi. Dan selama itu juga kami tidak bersekolah di SMA kami tercinta, SMA N 1 Payung, karena terlalu beresiko untuk berangkat kesana. Aku dan beberapa teman lainnya "numpang" di SMA N 1 Kuta Buluh yang tidak jauh dari desaku, desa Siabang-abang. Dan setelah itu ada kebijakan dari sekolah kami, bahwa semua siswa SMA N 1 Payung yang untuk sementara meminjam ruangan belajar SMP N 1 Kutabuluh, kami dan guru - guru kami ahkirnya melanjutkan proses belajar-mengajar disana.

3 tahun setelah kejadian itu, warga Tanah Karo sudah mulai melupakan mengenai bencana alam tersebut. Meskipun belum sepenuhnya trauma akan kejadian tersebut terobati. Dalam masa pemulihan itu. sesuatu yang diluar dugaan terjadi. Sinabung meletus lagi. Aku lupa kapan persisnya Sinabung erupsi kembali, mungkin sekitar bulan September di tahun 2013 kemarin. Dan hari ini, lebih dari 22.000 jiwa yang di ungsikan. Keadaan Sinabung semakin memburuk, beberapa desa dan sejumlah lahan pertanian di sekitar Sinabung rusak parah. Abu vulkanik dimana-mana.

Saya, seorang mahasiswa yang kuliah jauh dari Tanah Karo tidak sanggup membayangkan bagaimana keadaan Tanah Karo. Saya menghabiskan lebih dari 18 tahun hidup saya di tanah yang sangat subur dan terberkati itu. Dan hari-hari ini saya harus menyaksikan dari berbagai media keadaan kampung halaman saya, yang sekarang diselimuti abu vulkanik. Semua tempat terlihat sama, tak berwarna!
Saya dan beberapa teman yang juga berasal dari sekitar Gunung Sinabung, kerap kali berkumpul, berdoa bersama untuk keluarga kami dan semua warga Karo.  Sejujurnya, hati kami gundah. Jauh dari keluarga kami yang sebagian besar berada di posko pengungsian.
Apalah daya kami. Hanya doa disertai air mata yang menemani kami, dan harapan yang sangat besar agar bencana alam ini segera berakhir dan tanah kelahiran kami, Tanah Karo di lawat dan di pulihkan Tuhan.

Mejuah-juah

Semarang, 12 Jan 2014
Hanna Meyti Sitepu


Jumat, 03 Januari 2014

Me and My New Year

Selamat Tahun Baru sahabat bloggers...
Kali ini saya mau mengabadikan cerita tahun baru saya di tahun ini... :)
Awalnya sedikit kebingungan hendak buka tahun dengan siapa saja dan dimana. But, fortunately sahabat saya "mengundang"  ke rumahnya di Sowanan-Ngablak-Magelang-Jawa Tengah. Aku dan adikku berangkat 31 Des 2013 dari Semarang. Saat nungguin bis, ketemu teman-teman yang mau naik Merbabu...Wewww,,, nekat sekali mereka menaklukkan puncak Merbabu di musim hujan seperti ini.

Dinginnya lereng Merbabu menyambut kedatangan kami disertai rintik-rintik hujan. Teman-teman yang mendaki gunung menuju dusun Sidomukti, aku dan adikku di jemput sahabatku dan kami ke Sowanan. Kedatangan kami ke Sowanan semata-mata bukanlah sekedar tahun baruan, tapi juga merayakan natal bersama sidang jemaat GKII Anugerah Sowanan di hari terakhir tahun 2013 itu. Malam itu kita natalan bareng, dengan tema "Hidup Berkelimpahan pada Allah", dilanjutkan dengan makan malam bersama, break  sebentar dan kemudian ada ibadah tutup dan buka tahun.

Tahun Baru ini merupakan tahun ke-tiga yang harus saya lewati tanpa kumpul dengan seluruh anggota keluarga saya. Tapi saya tetap bersyukur buat kesempatan yang masih Tuhan berikan untuk memasuki tahun yang baru ini. Perayaan Buka Tahun kami lewati dengan sukacita, maen petasan bareng sahabatku yang paling comek. Setelah itu kita begadang sampai pagi, aku, adikku dan sahabatku bioskopan di gereja, nonton Ice Age 4 dan Rapunzel, ditemani wedang jahe yang membuat dinginnya malam itu terasa lebih hangat. Sebelum masuk ke gereja, aku sempat melihat ke arah merbabu yang tertutup awan, bertanya-tanya bagaimana kira-kira nasib teman-temanku.

Sorenya, aku ke Sidomukti. Ke rumah teman dan keluarga baruku disana. Sidomukti, Kopeng rasanya bak kampung sendiri. Pertama kali aku menginjakkan kakiku di tanah dingin ini akhir Agustus 2013. Kopeng, dulunya merupakan tempat tujuan Mission Trip ku. Tapi Tuhan berkehandak lain, aku di mutasi ke Bandungan. Pulang dari Mission Trip, aku di ajak anak rohaniku liburan ke Kopeng. Dan sejak saat itu, Kopeng menjadi salah satu tempat yang paling aku senangi. Meskipun suhu disana dingin, tapi penduduknya ramah dan saat-saat bersama mereka merupakan kehangatan yang tak terpungkiri.

Tahun Baru di tahun 2014 ini bertepatan dengan perayaan Saparan di Kopeng. Saparan sendiri merupakan suatu tradisi  milik orang jawa, yang menurut sejarah tradisi ini untuk mensyukuri desa supaya tetap sejahtera dan makmur serta untuk mengirim doa bersama masyrakat,  biasa di lakukan di bulan Sapar. Setiap warga menyediakan hidangan yang lebih "mewah" dari biasanya. Hampir di setiap rumah yang saya kunjungi aku menemukan kue Jadah. Kue jadah mirip dengan kue wajik, terbuat dari ketan.

Acara Saparan mengingatkanku akan sebuah tradisi di Tanah Karo yang mirip dengan acara ini., Kerja Tahun. Kerja Tahun adalah suatu bentuk ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta atau Beraspati Taneh (dewa yang berkuasa atas tanah menurut agama Pemena atau agama asli suku Karo) yang bertujuan menyukseskan setiap tahapan aktivitas pertanian dan manifestasi dari harapan akan hasil panen yang berlimpah (Sembiring, 1992). Dalam perayaan Kerja Tahun setiap warga biasanya menghidangkan santapan yang melimpah dan mewah, seperti rendang, lomok-lomok, sup, dll. Kerja Tahun tidak lengkap tanpa "cimpa". Cimpa merupakan kue khas milik orang karo, yang terbuat dari tepung ketan dan di tengahnya terdapat serunding+gula aren.

Kunjungan tahun baru ke Sidomukti kembali mempertemukanku dengan teman-teman yang mendaki Merbabu. Mereka berbagi kisah pendakian mereka yang "terrible and amazing". Merka di terpa badai dan nyaris mati kedinginan. Namun, pertolongan Tuhan selalu beserta mereka hingga akhirnya mereka bisa kembali turun ke Sidomukti, Kopeng.

Sahabat Bloggers, kita sudah memasuki tahun 2014. Tentunya banyak harapan dan mimpi-mimpi yang hendak kita raih. Dan saya juga mempunyai sejuta harapan di tahun ini. Di tulisanku yang berjudul "Marah" aku menulis bahwa aku ingin bangkit, dan saat aku terjaga aku ingin melihat mentari pagi yang indah, yang membuatku lupa akan semua mimpi-mimpi buruk itu. Di awal tahun ini, aku sudah bangkit dan telah kusaksikan mentari pagi yang indah, dan aku berhasil melupakan mimpi-mimpi burukku. :)
Thank's Lord, for everything, for happiness, for the tears and for someone who always makes me smile. :)

Mejuah-juah... Selamat Tahun Mbaru 2014
Sugeng Warsa Enggal 2014
Selamat Tahun Baru 2014
Happy New Year 2014















Semarang, 3 Januari 2014
Hanna