Halaman

Senin, 26 Mei 2014

Rumahku, home or house ??


“Ma, nanti kalau aku dan adik sudah lulus kuliah, kita renovasi rumah kita, ya.” 

 Kata ku kepada mama yang sedang mendengarkan permintaan putrinya di ujung telfon. Sambil tertawa mama menjawabku, “Iya sayang, berdoa saja biar kita dapat rejeki.”
 Mendengar jawaban mama imajinasiku melayang dan membayangkan sebuah rumah impian, sebuah rumah yang selama ini selalu aku dambakan.
Lamunanku akan rumah impian seketika buyar saat Rika, adikku masuk ke kamar.  Dia 2 tahun lebih muda dari aku, dan kini kami tinggal bersama di satu kamar kost di salah satu kota besar di Jawa Tengah.
 “Telfon sama siapa tadi?” Tanya Rika dengan gayanya yang cuek.
“Sama mama.” Jawabku singkat, tanpa berpaling dari telefon genggamku yang sedang ku mainkan.
“Ngobrol apa sama mama?”
“Ngobrolin rumah.”
Emang rumah kita kenapa?”
“Ngga kenapa-kenapa kok, aku cuma bilang ke mama, nanti kalo kita udah selesai kuliah, rumah kita di renovasi, kan mama ngga ngirimin kita uang bulanan lagi, jadi uangnya bisa buat renovasi rumah.”
            Sudah lama sekali aku tidak pulang ke rumah. Sesekali kurasakan rindu yang teramat dalam akan hari-hariku saat aku masih tinggal di rumah bersama semua anggota keluargaku. Saat mama membangunkanku di pagi hari, membuatkan kami sarapan sebelum berangkat sekolah, saat mama dengan sabarnya mendengarkan cerita gadis kecilnya yang sedang jatuh cinta, saat aku, adik, abang dan kedua orang tuaku berkumpul di malam Natal dan Tahun Baru.
            Hal yang paling aku rindukan di rumah adalah saat kami sekeluarga makan malam bersama. Masakan mama yang spesial selalu membuatnya mendapatkan pujian dari suami dan anak-anaknya. Mama mendapat julukan sebagai koki terhebat sedunia, karena mama selalu memasak dan menyajikan menu masakannya dengan penuh cinta. Masakan mama benar-benar tiada duanya. Aku juga selalu memperhatikan hal unik dari papa. Papa sangat suka makan kerak nasi yang masih hangat, dan selalu ku katakan kepada papa, akan aku ceritakan kepada anak-anakku kelak, bahwa kakek mereka sangat suka makan kerak nasi yang masih hangat. Papa selalu tertawa saat aku menggodanya seperti itu. I love you, Dad.
Keinginan untuk kuliah telah membawaku jauh meninggalkan rumah, meninggalkan pulau Sumatera. Terkadang ada rasa cemburu melihat teman-teman yang pulang ke rumah mereka saat liburan tiba. Aku harus menahan rindu dan mengurungkan niat untuk liburan ke kampung halaman, karena memang tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk pulang menyeberangi lautan.
Aku beruntung aku bisa kuliah bersama adikku di luar pulau. Setidaknya aku masih punya anggota keluarga yang tinggal bersamaku. Sesekali saat sedang ngobrol dengan Rika, ku tanyakan bagaimana sekarang keadaan rumah kami, karena ia yang terakhir meninggalkan rumah. Diceritkannya bahwa tanah kosong di depan rumah tempat kami dulu sering bermain telah dibangun rumah oleh pemiliknya.
“Kalau di tanah kosong itu sudah dibangun rumah, anak-anak tetangga kita bermain dimana?”
“Ya mereka bermain di halaman sekolah yang di dekat rumah kita.”
Trus, rumah kita sendiri gimana?
“Sepi”, jawabnya singkat.
            Ada rasa pilu saat membayangkan rumah sederhana berukuran 8 x 6 meter dimana aku dibesarkan selama hampir 16 tahun kini menjadi sepi. Wajar saja memang kalau rumah itu sekarang sepi, berbeda seperti beberapa tahun lalu saat kami semua masih di rumah. Abangku kini telah menikah dan dia tinggal di tempat yang ditetapkan pemerintah untuk bekerja, aku dan adikku menuntut ilmu ke pulau Jawa. Tinggal mama dan papa yang ada di rumah, itu pun hanya di akhir pekan. Sejak aku kuliah mama memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan di kota, jadi mama hanya bisa pulang setiap akhir pekan. Papa, yang mencintai dunia pertanian mengolah lahan pertanian kami dan ia tinggal di rumah, sendirian. Aku tau orang tuaku telah mengambil keputusan yang sulit, tapi aku juga sadar mereka melakukan itu demi masa depan kami, buah hati mereka.
            Bertahun-tahun kini tak ku injakkan kaki di rumahku. Tapi masih terbayang setiap sudut ruangan itu, setiap tempat di rumahku menyimpan cerita dan hangatnya kebersamaan kami di rumah. Ku bayangkan rumahkku yang sekarang dan kubayangkan rumah impianku. Rumah yang sekarang sepi itu sangat sederhana, dan hanya memiliki 2 kamar tidur. 1 kamar untuk orang tuaku, dan yang 1 dengan ukuran lebih kecil adalah kamarku dan kamar adikku. Kamar abangku? Dulu saat aku dan adikku masih kecil, kami tidur bersama orang tua kami. Jadi abangku tidur di kamar yang lebih kecil itu. Saat kami mulai tumbuh remaja, kami, aku dan adikku, menggusur abangku, jadi ia tidur di sofa di ruang keluarga.
            Rumah impianku tentunya lebih baik dari rumahku yang sekarang. Rumah impianku adalah sebuah rumah berlantai dua, 2 kamar di lantai 1 dan 2 kamar di lantai atas, dan ada balkon yang menghadap ke barat. Rumah itu tidak harus mewah, yang penting ada pekarangannya. Jadi rumah itu akan terlihat segar. Di pekarangan akan ada beberapa pohon buah-buahan, dan yang pasti akan ada banyak bunga yang di tanam di pekarangan itu. Pertanyaannya, rumah sebesar itu untuk siapa? Tentu saja untuk orang tuaku.
            Suatu hari ku ceritakan kepada adikku mengenai rumah impian itu.
“Ka, aku punya rumah impian.”
“Rumah impian seperti apa?” Tanya Rika.
“Rumah berlantai dua, 2 kamar di lantai 1 dan 2 kamar di lantai atas, dan ada balkon yang menghadap ke barat, trus ada pekarangannya.” Jelasku bersemangat.
Lu mau bangun dimana rumah kaya gitu?” Tanya Rika dengan nada tak percaya.
“ Ya beli tanah toh, Neng.”
Emang menurut elu beli tanah itu gampang, duit dari mana?” jawab Rika masih dengan nada tak percaya.
“Kan rumah yang sekarang itu kalau mau di renovasi juga susah, di depannya juga udah di bangun rumah. Jadi kita bilang mama aja, biar rumah itu di jual, terus kita beli tanah yang memungkinkan untuk di bangun rumah kaya rumah impianku itu”. Kataku sambil membayangkan rumah impianku itu.
“Astaga, lagian buat apa rumah se-gede itu? Toh nanti kita udah berkeluarga dan orang tua kita cuma tinggal berdua.”
“Ya justru karena kita udah berkeluarga. Jadi nanti kalo Tahun Baruan kita kumpul keluarga di rumah mama, pasti mama senang liat anak-anak dan cucu-cucunya berkumpul”. Ceritaku kepada Rika sambil membayangkan masa depan.
“Tapi ngga mesti jual rumah kita yang sekarang juga kali, pokoknya aku ngga mau kalo rumah itu sampai di jual, apapun ceritanya. Rumah itu menyimpan sejarah perjalanan keluarga kita selama sekian dekade.” Bantah adikku.
            Sepenting itu kah arti rumah itu baginya, di banding dengan rumah impianku? Aku tak peduli apa kata adikku, rumah impian itu masih tetap menari-nari di imajinasiku. Ku bayangkan rumah impianku di bangun di kampung halamanku yang sejuk, dengan pemandangan gunung yang menjulang tinggi di sebelah timur dan pegunungan Bukit Barisan yang seolah memeluk bahu gunung itu di sebelah timur laut. Ku bayangkan keindahan mentari pagi yang terbit dari balik gunung yang diselimuti awan tipis yang bisa di saksikan dari jendela kamar di lantai atas, dan megahnya matahari jingga saat senja di ufuk barat, yang bisa di nikmati dari balkon yang mengahadap ke arah matahari terbenam. Aku tersenyum dan ku pejamkan mataku menikmati indahnya pemandangan yang menari-nari di imajinasiku.
***

            Ku temukan diriku mulai disibukkan dengan skripsiku. Perkara rumah impian sudah jarang aku pikirkan. Yang ada di pikiranku hanyalah tentang skripsi, skripsi dan skripsi.  Bagaimana skripsiku bisa ku kerjakan dengan maksimal dan hasil yang memuaskan, itu semua cukup menyita waktu dan pikiranku. Sampai suat  ketika di masa-masa jenuhku aku di suguhi satu pertanyaan oleh teman-teman satu organisasiku di kampus . Pertanyaannya sederhana, apa bedanya “home” dengan “house”?
            Secara harafiah kedua kata tersebut bisa diartikan “rumah”. Aku tidak menjawab apa-apa saat aku ditanyai tentang perbedaan kata itu. Tapi itu cukup menggangguku juga. Aku pernah mendengar istilah “home sweet home”, bukan “house sweet house”. Kini aku mengerti, home bukan hanya sekedar bangunan rumah dengan beberapa kamar yang dipenuhi dengan perabotan. Tapi lebih dari itu, home mengandung makna yang lebih luas. Home berbicara tentang keharmonisan, hubungan, kasih sayang dan cinta yang kita dapatkan di rumah, di keluarga kita. Rumah adalah tempat dimana ada orang-orang yang menanti kita dengan penuh kasih sayang saat kita pulang.
            Rumah bisa menjadi house ketika tidak ada keharmonisan di dalamnya. Kasus seperti ini sering disebut dengan istilah “broken home”, bukan “broken house”. Karena yang rusak bukanlah bangunan rumahnya, tetapi hubungan antar anggota keluarga. Dan yang sering kali menjadi korban dari broken home adalah anak-anak. Mereka tidak mendapat kasih sayang di rumah, sehingga mereka “lari” dan mencoba mencari perhatian di luar rumah. Tapi yang mereka dapatkan bukanlah perhatian dan kasih sayang, tapi pergaulan yang buruk dan yang akhirnya menjerumuskan mereka. Anak-anak yang menjadi korban broken home tidak jarang menjadi korban juga dalam pergaulan yang tidak baik.
            Pertanyaan home or house mengingatkanku akan rumahku, ya rumahku yang sekarang, bukan rumah impianku. Ku tanya diriku sendiri apakah rumahku adalah home or house bagiku. Ku ingat senyum dan semangat kedua orang tuaku, ku ingat kembali saat-saat beberapa tahun lalu, saat kami semua masih berkumpul di rumah, saat mama memasakkan kami makanan dengan penuh cinta, saat papa tertawa setiap kali aku menggoda dia tentang kerak nasi yang masih hangat, saat aku, adik dan abangku bersenda gurau bersama, dan 1 hal yang selalu ku ingat, bagaimana orang tuaku mengapresiasi kami anak-anaknya saat kami menjadi juara kelas, dan bagaimana mereka menyemangati kami saat prestasi kami tidak meningkat. Semuanya itu menjawab pertanyaan apakah rumahku home or house bagiku.
            Aku merasakan rindu yang semakin mendalam akan rumahku di saat-saat terakhir penyelesaian skripsiku.  Hampir 4 tahun aku menahan rasa ini, demi mimpi dan cita-cita, demi membanggakan kedua orang tuaku, demi keluargaku yang tercinta. Dengan penuh cinta akan mereka ku selesaikan skripsiku dan sebentar lagi aku akan di wisuda.
            Suatu senja di akhir pekan ku telfon mamaku,
“Ma, aku lulus sidang. Pertengahan bulan Mei aku akan di wisuda.”
“Selamat ya sayang, mama sama papa bangga sama kamu.”
“Iya ma, makasih dukungannya ma. Ma, aku punya permintaan, boleh?”
“Permintaan apa sayang, renovasi rumah kita?” Tanya mamaku sambil menggodaku dan tertawa di ujung telfon.
“Engga ma, selesai wisuda aku pulang ya. I do miss my home.” Kata ku sambil menahan air mata.
“ Iya sayang, nanti kita pulang bareng setelah kamu wisuda.”
“Thankyou mom, I love you.”

 Hanna Meyti Sitepu

Purwokerto, 10 mei '14