Tidur nyenyakku ter-interupsi malam itu, 28 Agustus 2010. Salah seorang tetanggaku mengetok pintu sambil berteriak " Bangun...bangun...Gunung Sinabung meletus". Dengan keadaan masih setengah sadar, kami sekeluarga keluar rumah demi mendengar teriakan itu. Aku, yang masih tidak percaya dengan apa yang kudengar, karena tadi siangnya aku masih berangkat ke sekolahku yang berada persis di lereng Sinabung,dengan mata yang masih terkantuk- kantuk, melihat ke arah timur, ke singgasananya Sinabung. Kantukku hilang, dan aku merasakan tubuhku gemetaran. Sekitar belasan kilometer di depanku, di puncak Sinabung aku melihat bara api keluar. Seolah mentari telah bersinar di tengah malam yang dingin itu. Aku masih belum percaya dengan apa yang ku lihat, masih belum percaya Gunung Sinabung telah meletus. Tadi siang aku masih mengikuti pelajaran seperti biasa, dan tidak ada tanda-tanda gunung akan meletus, pikirku.
Sesaat kemudian ku temukan diriku telah berkumpul dengan semua tetangga ku di salah satu rumah tetangga, pemilik rumah segera menyalakan pesawat televisi dan kami melihat berita Gunung Sinabung telah meletus di siarkan. Aku baru percaya Sinabung telah meletus setalah mendengar siaran itu.
Kami tidak mengungsi karena desa kami masih aman, meski kami dan semua warga lumayan was-was malam itu. Keesokan harinya, aku dikagetkan dengan info lain yang kudengar saat aku bangun. " Cobalah keluar, ada banyak pengungsi di Losd, manatau ada teman sekolahmu disana", kata adikku.
Aku keluar rumah dan segera ke balai desa, yang dalam bahasa adat karo di sebut Losd atau Jambur. Aku tak kuasa menyaksikan pemandangan yang menyayat-nyayat hatiku. Ada banyak pengungsi yang tidur di sana, dan tidak sedikit yang aku kenal. Beberapa dari mereka adalah teman sekolahku dan keluaraganya. Selama 1 bulan lebih setelah hari itu, desa kami menjadi salah satu posko pengungsian. Beberapa teman tidur di rumahku karena Losd di desa kami tidak cukup luas untuk menampung semua pengungsi. Dan selama itu juga kami tidak bersekolah di SMA kami tercinta, SMA N 1 Payung, karena terlalu beresiko untuk berangkat kesana. Aku dan beberapa teman lainnya "numpang" di SMA N 1 Kuta Buluh yang tidak jauh dari desaku, desa Siabang-abang. Dan setelah itu ada kebijakan dari sekolah kami, bahwa semua siswa SMA N 1 Payung yang untuk sementara meminjam ruangan belajar SMP N 1 Kutabuluh, kami dan guru - guru kami ahkirnya melanjutkan proses belajar-mengajar disana.
3 tahun setelah kejadian itu, warga Tanah Karo sudah mulai melupakan mengenai bencana alam tersebut. Meskipun belum sepenuhnya trauma akan kejadian tersebut terobati. Dalam masa pemulihan itu. sesuatu yang diluar dugaan terjadi. Sinabung meletus lagi. Aku lupa kapan persisnya Sinabung erupsi kembali, mungkin sekitar bulan September di tahun 2013 kemarin. Dan hari ini, lebih dari 22.000 jiwa yang di ungsikan. Keadaan Sinabung semakin memburuk, beberapa desa dan sejumlah lahan pertanian di sekitar Sinabung rusak parah. Abu vulkanik dimana-mana.
Saya, seorang mahasiswa yang kuliah jauh dari Tanah Karo tidak sanggup membayangkan bagaimana keadaan Tanah Karo. Saya menghabiskan lebih dari 18 tahun hidup saya di tanah yang sangat subur dan terberkati itu. Dan hari-hari ini saya harus menyaksikan dari berbagai media keadaan kampung halaman saya, yang sekarang diselimuti abu vulkanik. Semua tempat terlihat sama, tak berwarna!
Saya dan beberapa teman yang juga berasal dari sekitar Gunung Sinabung, kerap kali berkumpul, berdoa bersama untuk keluarga kami dan semua warga Karo. Sejujurnya, hati kami gundah. Jauh dari keluarga kami yang sebagian besar berada di posko pengungsian.
Apalah daya kami. Hanya doa disertai air mata yang menemani kami, dan harapan yang sangat besar agar bencana alam ini segera berakhir dan tanah kelahiran kami, Tanah Karo di lawat dan di pulihkan Tuhan.
Mejuah-juah
Semarang, 12 Jan 2014
Hanna Meyti Sitepu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar